Jadi saya akan mulai hari ini dengan misteri bersejarah. Pada 1958, ada dua wanita muda keduanya berusia 20an keduanya ada di kota yang sama keduanya anggota grup politis yang sama Di tahun itu, keduanya memutuskan untuk melakukan serangan kekerasan. Satu gadis membawa pistol dan mendekati seorang prajurit di perbatasan. Yang satunya membawa bom dan pergi ke kafe yang ramai. Namun di sini bedanya: salah satu dari kedua gadis itu menjalankan serangannya, tapi yang satunya berputar balik. Jadi apa yang membuatnya berbeda? Saya adalah sejarawan perilaku dan mempelajari agresi, kognisi moral dan pengambilan keputusan dalam pergerakan sosial. Berbelit-belit, ya. (Tertawa) Jadi, terjemahannya adalah: Saya mempelajari saat di mana seseorang memutuskan untuk menarik pelatuknya, keputusan dari hari-ke-hari yang menuju pada saat tersebut dan kisah yang mereka katakan sendiri untuk membenarkan perilaku tersebut Nah, topik ini -- bukan hanya bersifat keilmuan untuk saya. Sebenarnya hal ini sedikit personal. Saya besar di Kootenai County, Idaho, dan ini sangat penting. Ini bukanlah daerah Idaho yang ada kentangnya. Kami tidak memiliki kentang. Dan jika anda bertanya tentang kentang, Saya akan temukan anda. (Tertawa) Bagian Idaho ini terkenal dengan danau pegunungan, menunggang kuda, bermain ski. Sayangnya, mulai dari tahun 1980an, daerah ini menjadi terkenal sebagai pusat mendunia untuk Bangsa Arya. Setiap tahun, anggota dari perkumpulan neo-Nazi akan muncul dan berarak melalui kota kami, dan setiap tahun, masyarakat kota kami akan muncul dan memprotes mereka. Nah, pada 2001, saya lulus SMA, dan pergi kuliah di kota New York. Saya tiba pada Agustus 2001 Kebanyakan dari anda mungkin sudah tahu, bahwa tiga munggu setelahnya, Menara Kembar runtuh. Saya terkejut. Saya sangat marah. Saya ingin melakukan sesuatu, namun pada saat itu yang bisa saya pikirkan hanyalah dengan belajar bahasa Arab. Saya akui, Saya adalah tipe gadis di kelas yang ingin tahu kenapa "mereka" benci "kita." Saya mulai belajar bahasa Arab untuk alasan yang sangat keliru. Namun sesuatu yang tak disangka terjadi. Saya mendapatkan beasiswa untuk belajar di Israel. Jadi si gadis Idaho pergi ke Timur Tengah. Dan selagi saya di sana, Saya bertemu Muslim Palestina, Kristiani Palestina, Para pendatang Israeli, aktivis perdamaian Israel. Dan yang saya pelajari adalah semua aksi mempunyai ekologi. Mempunyai konteks. Sejak saat itu, saya sudah pergi mengelilingi dunia, sudah mempelajari pergerakan kekerasan, saya sudah bekerja dengan LSM, dan mantan petarung di Irak, Suriah, Vietnam, Balkan, Kuba. Saya mendapatkan PhD saya di Sejarah, dan pekerjaan saya adalah mendatangi arsip berbeda dan saya gali dokumen-dokumen, mencari pengakuan polisi, kasus pengadilan, buku harian dan manifesto individual yang terlibat dalam serangan kekerasan. Nah, anda kumpulkan semua dokumen ini -- apa yang mereka beritahukan? Ternyata, otak kita suka dengan misteri kausal. Sehingga setiap kali kita melihat berita tentang penyerangan, kita biasanya menanyakan satu hal: Kenapa? Kenapa hal itu terjadi? Bisa saya katakan pada anda saya sudah baca ribuan manifesto dan yang akan anda temukan adalah biasanya mereka bersifat meniru. Mereka meniru gerakan politis yang menjadi acuan mereka. Sehingga tak banyak yang bisa diketahui tentang pengambilan keputusan terkait dengan kasus seperti itu. Jadi kita harus mengajari diri untuk menanyakan pertanyaan sangat berbeda. Daripada "Mengapa?' kita harus bertanya "Bagaimana?" Bagaimana orang-orang ini menghasilkan serangan, dan cara ekologi pengambilan keputusan berpengaruh pada perilaku kekerasan? Ada beberapa hal yang saya pelajari dari menanyakan pertanyaan seperti ini. Hal yang paling penting adalah kekerasan politis bukanlah hasil asli budaya. Kita menciptakan hal tersebut Dan entah apakah kita sadari atau tidak, kebiasaan sehari-hari kita berpengaruh pada terciptanya kekerasan di lingkungan kita. Inilah beberapa kebiasaan yang telah saya pelajari berkontribusi pada kekerasan Satu hal yang dilakukan si penyerang saat mempersiapkan diri mereka untuk suatu kekerasan adalah menutup diri mereka dalam suatu gelembung informasi. Anda pasti pernah dengar berita palsu, kan? Nah, ini yang mengejutkan saya: setiap grup yang saya pelajari punya semacam slogan fake news. Komunis Prancis menamainya dengan "media busuk." Ultranasionalis Prancis menyebutnya dengan "media bayaran" dan "media khianat." Islamis di Mesir menyebutnya "berita bejat." Dan komunis Mesir menyebutnya... "berita palsu." Lalu kenapa grup-grup menghabiskan waktu untuk menciptakan gelembung informasi ini? Jawabannya sebenarnya sangat sederhana. Kita membuat keputusan berdasarkan informasi yang kita percaya, kan? Jadi jika kita percaya informasi buruk, kita akan membuat keputusan yang buruk. Kebiasaan menarik lainnya yang dipakai individu ketika mereka akan melakukan serangan kekerasan adalah mereka tidak melihat korban sebagai individu tapi hanya sebagai bagian dari tim lawan. Nah di sinilah mulai aneh. Ada beberapa ilmu otak menyenangkan dibalik kenapa pemikiran itu efektif. Katakanlah saya membagai anda semua menjadi dua tim: tim biru, tim merah. Dan saya akan minta anda untuk berkompetisi satu sama lain. Nah, hal yang menarik adalah, hanya dalam milisekon, anda akan mulai merasakan kesenangan -- kesenangan -- saat sesuatu yang buruk terjadi pada anggota tim lain. Yang menarik tentang itu adalah jika saya meminta salah satu anggota tim biru untuk bergabung dengan tim merah, otak anda akan terkalibrasi ulang, dan hanya dalam milisekon, anda akan merasakan kesenangan saat hal buruk terjadi pada anggota di tim lama anda. Inilah contoh yang sangat bagus kenapa berpikir kita-mereka itu berbahaya dalam lingkungan politis kita. Kebiasaan lain yang digunakan penyerang untuk menyemangati diri sebelum serangan adalah dengan berfokus pada perbedaan. Dengan kata lain, mereka melihat pada korban dan berpikir "Tidak ada persamaan antara aku dan dia. Mereka benar-benar berbeda dariku." Sekali lagi, mungkin terdengar seperti konsep yang sangat simpel, namun ada beberapa sains menarik dibalik cara kerja hal ini. Semisal saya menunjukkan anda video tangan dengan warna kulit berbeda dan jarum-jarum tajam ditusukkan kepada tangan dengan warna berbeda ini, Oke? Jika anda kulit putih, kemungkinan anda akan merasakan simpati atau sakit yang paling besar ketika anda melihat jarum menusuk tangan kulit putih. Jika anda Latin Amerika, Arab, kulit hitam anda mungkin akan mengalami rasa simpatik paling besar saat melihat jarum menusuk ke tangan yang terlihat mirip dengan tangan anda. Berita bagusnya adalah, hal itu tidak terpatri secara biologis. Itu adalah perilaku yang dipelajari. Berarti semakin sering kita menghabiskan waktu dengan komunitas etnis lain dan semakin kita melihat mereka mirip dengan kita dan bagian tim kita, semakin kita akan merasakan sakit mereka. Kebiasaan terakhir yang akan saya bicarakan adalah ketika penyerang mempersiapkan diri untuk keluar dan melakukan serangan, mereka berfokus pada isyarat emosional. Berbulan-bulan, mereka menyiapkan diri berfokus pada isyarat kemarahan, misalnya Saya membahas ini karena hal ini sedang populer sekarang. Jika anda membaca blog atau berita, anda akan lihat pembahasan dua konsep dari laboratorium sains: pembajakan amygdala dan pembajakan emosional. Nah, pembajakan amygdala: adalah konsep di mana saya memperlihatkan pada anda isyarat -- misal, pistol -- dan otak anda bereaksi dengan respon otomatis terhadap ancaman dari isyarat tersebut. Pembajakan emosional -- memiliki konsep sangat mirip. Merupakan suatu ide di mana saya menunjukkan anda isyarat marah, misalnya, dan otak anda akan bereaksi dengan respon marah yang otomatis terhadap isyarat tersebut. Saya rasa wanita biasanya lebih sering mengalami ini daripada pria. (Tertawa) (Tertawa) Naratif yang membajak seperti itu menarik perhatian kita. Bahkan kata "pembajakan" sudah menarik perhatian kita. Masalahnya, yang sering terjadi, isyarat tidak bekerja seperti itu di kehidupan nyata. Jika mempelajari sejarah yang anda temukan adalah kita dibombardir dengan ratusan ribu isyarat setiap harinya. Dan yang kita lakukan adalah menyaringnya. Kita abaikan beberapa isyarat, kita memperhatikan isyarat lain. Pada kekerasan politis, ini merupakan hal yang sangat penting, karena hal ini berarti para penyerang biasanya tidak melihat isyarat kemarahan dan kemudian langsung beraksi. Malahan, para politisi, aktifis sosial menghabiskan berminggu-minggu, bulan, tahun membanjiri lingkungan dengan isyarat kemarahan, misalnya, dan para penyerang, mereka memperhatikan isyarat-isyarat itu, mereke meyakini itu, mereka berfokus pada itu, bahkan mengingat hal itu. Semua ini benar-benar menunjukkan betapa pentingnya mempelajari sejarah. Merupakan satu hal melihat bagaimana isyarat bekerja di setelan laboratorium. Dan eksperimen di laboratorium tersebut sangatlah penting. Mereka memberikan kita banyak data baru tentang bagaimana tubuh kita bekerja. Namun sangat penting juga untuk melihat bagaimana isyarat bekerja di dunia nyata. Lalu apa yang bisa semua ini beritahukan pada kita tentang kekerasan politis? Kekerasan politis bukanlah hasil dari budaya. Ia bukanlah respon otomatis yang terpatri terhadap stimuli lingkungan. Kita yang membuatnya. Kebiasaan sehari-hari kita membuatnya. Sebenarnya, mari kembali ke dua wanita yang saya sebutkan di awal. Wanita pertama telah memperhatikan kampanye-kampanye penuh amarah, jadi ia bawa sebuah pistol dan mendekati satu prajurit di perbatasan. Tapi pada saat itu, sesuatu yang sangat menarik terjadi. Ia melihat prajurit tersebut, dan berpikir dalam hati, "Ia berusia sebaya denganku. Ia terlihat seperti diriku." Maka ia menurunkan senjatanya, dan berjalan pergi. Hanya dari persamaan yang kecil itu. Gadis yang kedua, memiliki hasil yang sangat berbeda. Ia juga mendengarkan kampanye-kampanye kemarahan. namun ia mengelilingi dirinya dengan individual-individual yang mendukung kekerasan, dengan rekan yang mendukung kekerasannya. Ia menutup dirinya dalam sebuah gelembung informasi Ia memfokuskan diri pada isyarat emosional tertentu selama berbulan-bulan. Ia mengajarkan dirinya sendiri untuk melewati batasan budaya pada kekerasan. Ia melatih rencananya, ia mengajarkan dirinya kebiasaan baru, dan ketika waktunya tiba, ia membawa bomnya ke kafe, dan ia laksanakan serangannya. Hal tersebut bukanlah impuls. Ia adalah pembelajaran. Polarisasi dalam masyarakat kita bukanlah impuls, namun suatu pembelajaran. Setiap hari kita mengajari diri sendiri: berita yang kita klik, emosi yang kita berfokus padanya, pemikiran yang kita punya mengenai tim merah atau tim biru. Semua ini berpengaruh pada pembelajaran, entah kita menyadarinya atau tidak. Berita baiknya adalah biarpun individual yang saya pelajari sudah membuat keputusan, kita masih bisa merubah lintasan kita. Kita mungkin tidak akan dapat membuat keputusan seperti mereka, namun kita dapat menghentikan berkontribusi ke ekologi kekerasan. Kita bisa keluar dari gelembung berita apapun yang kita diami sekarang, kita bisa lebih memperhatikan pada isyarat emosional untuk difokuskan, pada umpan kemarahan yang kita klik. Namun paling penting, kita dapat berhenti melihat satu sama lain hanya sebagai anggota tim merah atau tim biru. Karena meskipun kita adalah Kristiani, Muslim, Yahudi, ateis, Demokrat atau Republikan, kita adalah manusia. Kita adalah orang-orang. Dan kita sering kali punya kebiasaan mirip Kita punya perbedaan. Namun perbedaan tersebut indah, dan perbedaan tersebut sangat penting. Tetapi masa depan kita bergantung pada kemampuan kita menemukan kesamaan dengan pihak yang lain. Dan itulah mengapa sangat, sangat penting bagi kita untuk melatih ulang otak kita dan berhenti berkontribusi pada ekologi kekerasan. Terima kasih. (Tepuk tangan)